Abu Hasan al-Asy'ari 260H - 324H
Nama sebenarnya adalah Ali bin Ismail bin Ishaq (Abu Bisyr) bin Salim
bin Ismail bin Musa bin Bilal bin Abu Burdah bin Abu Musa Al Asy’ari,
tapi kebanyakan orang mengenalnya dengan nama Abul Hasan Al Asy’ari.
Dari silsilahnya kita mengetahui bahwa beliau adalah salah seorang
keturunan shahabat Rasulullah yang mulia yang terkenal akan keilmuannya
dan keindahannya dalam membaca Al Quran, Abdullah bin Qais bin Hadhdhar
atau Abu Musa Al Asy’ari Al Yamani. Ali Abul Hasan Al Asy’ari dilahirkan
di Bashrah wilayah Iraq pada tahun 260 Hijriyah. “Abul Hasan”
sebenarnya adalah kuniyah beliau, dan julukannya adalah Nashiruddin atau
Sang Pembela Agama. Julukan ini beliau dapatkan saat beliau meninggal
dan orang-orang saling mengabarkan bahwa “Sang Pembela Agama” telah
meninggal.
Beliau -Abul Hasan Al-Asy’ari- Rahimahullah dilahirkan pada tahun 260 H di Bashrah, Irak.
Beliau Rahimahullah dikenal dengan kecerdasannya yang luar biasa dan
ketajaman pemahamannya. Demikian juga, beliau dikenal dengan qana’ah
dan kezuhudannya.
Guru-gurunya
Beliau Rahimahullah mengambil ilmu kalam dari ayah tirinya, Abu Ali al-Jubai, seorang imam kelompok Mu’tazilah.
Ketika beliau keluar dari pemikiran Mu’tazilah, beliau Rahimahullah
memasuki kota Baghdad dan mengambil hadits dari muhaddits Baghdad
Zakariya bin Yahya as-Saji. Demikian juga, beliau belajar kepada Abul
Khalifah al-Jumahi, Sahl bin Nuh, Muhammad bin Ya’qub al-Muqri,
Abdurrahman bin Khalaf al-Bashri, dan para ulama thabaqah mereka.
Taubatnya dari aqidah Mu’tazilah
Al-Hafizh Ibnu Asakir berkata di dalam kitabnya Tabyin Kadzibil Muftari
fima Nusiba ila Abil Hasan al-Asy’ari, ”Abu Bakr Ismail bin Abu
Muhammad al-Qairawani berkata, ‘Sesungguhnya Abul Hasan al-Asy’ari
awalnya mengikuti pemikiran Mu’tazilah selama 40 tahun dan jadilah
beliau seorang imam mereka. Suatu saat beliau menyepi dari manusia
selama 15 hari, sesudah itu beliau kembali ke Bashrah dan shalat di
masjid Jami’ Bashrah. Seusai shalat Jum’at beliau naik ke mimbar seraya
mengatakan:
Wahai manusia, sesungguhnya aku menghilang dari kalian pada hari-hari
yang lalu karena aku melihat suatu permasalahan yang dalil-dalilnya
sama-sama kuat sehingga tidak bisa aku tentukan mana yang haq dan mana
yang batil, maka aku memohon petunjuk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
sehingga Allah memberikan petunjuk kepadaku yang aku tuliskan dalam
kitab- kitabku ini, aku telah melepaskan diriku dari semua yang
sebelumnya aku yakini, sebagaimana aku lepaskan bajuku ini.
Beliau pun melepas baju beliau dan beliau serahkan kitab-kitab tersebut
kepada manusia. Ketika ahlul hadits dan fiqh membaca kitab-kitab
tersebut mereka mengambil apa yang ada di dalamnya dan mereka mengakui
kedudukan yang agung dari Abul Hasan al-Asy’ari dan menjadikannya
sebagai imam.’”
Para pakar hadits (Ashhabul hadits) sepakat bahwa Abul Hasan al-Asy’ari adalah salah seorang imam dari ashhabul hadits.
Beliau berbicara pada pokok-pokok agama dan membantah orang-orang
menyeleweng dari ahli bid’ah dan ahwa’ dengan menggunakan al-Qur’an dan
Hadits dengan pemahaman para sahabat. Beliau adalah pedang yang
terhunus atas Mu’taziah, Rafidhah, dan para ahli bid’ah.
Abu Bakr bin Faurak berkata, ”Abul Hasan al-Asy’ari keluar dari
pemikiran Mu’tazilah dan mengikuti madzhab yang sesuai dengan para
sahabat pada tahun 300 H.”
Abul Abbas Ahmad bin Muhammad bin Khalikan berkata dalam kitabnya,
Wafayatul A’yan (2/446), ”Abul Hasan al-Asy’ari awalnya mengikuti
pemikiran Mu’tazilah kemudian bertaubat.”
Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata dalam kitabnya, al-Bidayah wan Nihayah
(11/187), “Sesungguhnya Abul Hasan al-Asy’ari awalnya adalah seorang
Mu’tazilah kemudian bertaubat dari pemikiran Mu’tazilah di Bashrah di
atas mimbar, kemudian beliau tampakkan aib-aib dan kebobrokan pemikiran
Mu’tazilah.”
Al-Hafizh adz-Dzahabi berkata dalam kitabnya, al-Uluw lil Aliyyil
Ghaffar, ”Abul Hasan alAsy’ari awalnya seorang Mu’tazilah mengambil
ilmu dari Abu Ali al-Juba’i, kemudian beliau lepaskan pemikiran
Mu’tazilah dan jadilah beliau mengikuti Sunnah dan mengikuti para imam
ahli hadits.”
Tajuddin as-Subki berkata dalam kitabnya, Thabaqah Syafi’iyyah al-Kubra
(2/246), ”Abul Hasan al-Asy’ari -mengikuti pemikiran Mu’tazilah selama
40 tahun hingga menjadi imam kelompok Mu’tazilah. Ketika Alloh
menghendaki membela agamaNya dan melapangkan dada beliau untuk ittiba’
kepada al-Haq maka beliau menghilang dari manusia di rumahnya.”
(Kemudian Tajuddin as-Subki menyebutkan apa yang dikatakan oleh
al-Hafizh Ibnu Asakir di atas).
Ibnu Farhun al-Maliki berkata dalam kitabnya Dibajul Madzhab fi Ma’rifati A’yani Ulama’il Madzhab (hal. 193),
”Abul Hasan al-Asy’ari awalnya adalah seorang Mu’tazilah, kemudian
keluar dari pemikiran Mu’tazilah kepada madzhab yang haq madzhabnya para
sahabat. Banyak yang heran dengan hal itu dan bertanya sebabnya kepada
beliau, Maka beliau menjawab bahwa beliau pada bulan Ramadhan bermimpi
bertemu Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam yang memerintahkan kepada
beliau agar kembali kepada kebenaran dan membelanya, dan demikianlah
kenyataannya -walhamdulillahi Taala-.”
Murtadha az-Zabidi berkata dalam kitabnya Ittihafu Sadatil Muttaqin bi
Syarhi Asrari lhya’ Ulumiddin (2/3), ”Abul Hasan al-Asy’ari mengambil
ilmu kalam dari Abu Ali al-Jubba’i (tokoh Mu’tazilah), kemudian beliau
tinggalkan pemikiran Mu’tazilah dengan sebab mimpi yang beliau lihat,
beliau keluar dari Mu’tazilah secara terang-terangan, beliau naik mimbar
Bashrah pada hari Jum’at dan menyeru dengan lantang, ‘Barangsiapa yang
telah mengenaliku maka sungguh telah tahu siapa diriku dan barangsiapa
yang belum kenal aku maka aku adalah Ali bin Ismail yang dulu aku
mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk, bahwasanya Allah tidak bisa
dilihat di akhirat dengan mata, dan bahwasanya para hamba menciptakan
perbuatan-perbuatan mereka. Dan sekarang lihatlah aku telah bertaubat
dari pemikiran Mu’tazilah dan meyakini bantahan atas mereka,’ kemudian
mulailah beliau membantah mereka dan menulis yang menyelisih pemikiran
mereka.”
Kemudian az-Zabidi berkata, “Ibnu Katsir berkata,
‘Para ulama menyebutkan bahwa Syaikh Abul Hasan al-Asy’ari memiliki tiga fase pemikiran:
Pertama mengikuti pemikiran Mu’tazilah yang kemudian beliau keluar darinya,
Kedua menetapkan tujuh sifat aqliyyah, yaitu; Hayat, Ilmu, Qudrah,
Iradah, Sama’, Bashar, dan Kalam, dan beliau menakwil sifat-sifat
khabariyyah seperti wajah, dua tangan, telapak kaki, betis, dan yang
semisalnya.
Ketiga adalah menetapkan semua sifat Allah tanpa takyif dan tasybih
sesuai manhaj para sahabat yang merupakan metode beliau dalam kitabnya
al-Ibanah yang beliau tulis belakangan.’”
Murid-muridnya
Di antara murid-muridnya adalah Abul Hasan al-Bahili, Abul Hasan
al-Karmani, Abu Zaid al-Marwazi, Abu Abdillah bin Mujahid al-Bashri,
Bindar bin Husain asy-Syairazi, Abu Muhammad al-Iraqi, Zahir bin Ahmad
as-Sarakhsyi, Abu Sahl Ash-Shu’luki, Abu Nashr al-Kawwaz Asy-Syairazi,
dan yang lainnya.
Tulisan-tulisannya
Di antara tulisan-tulisan beliau adalah: al-Ibanah an Ushuli Diyanah,
Maqalatul Islamiyyin, Risalah Ila Ahli Tsaghr, al-Luma’ fi Raddi ala
Ahlil Bida’, al-Mujaz, al-Umad fi Ru’yah, Fushul fi Raddi alal Mulhidin,
Khalqul A’mal, Kitabush Shifat, Kitabur Ruyah bil Abshar, al-Khash
wal ‘Am, Raddu Alal Mujassimah, Idhahul Burhan, asy-Syarh wa Tafshil,
an-Naqdhu alal Jubai, an-naqdhu alal Balkhi, Jumlatu Maqalatil
Mulhidin, Raddu ala lbni Ruwandi, al-Qami’ fi Raddi alal Khalidi, Adabul
Jadal, Jawabul Khurasaniyyah, Jawabus Sirafiyyin, Jawabul Jurjaniyyin,
Masail Mantsurah Baghdadiyyah, al- Funun fi Raddi alal Mulhidin, Nawadir
fi Daqaiqil Kalam, Kasyful Asrar wa Hatkul Atsar, Tafsirul Qur’an
al-Mukhtazin, dan yang lainnya.
al-Imam Ibnu Hazm Rohimahullah berkata, “al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari memiliki 55 tulisan.
Di antara perkataan-perkataannya
Al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari Rohimahullah berkata dalam kitabnya
al-Ibanah an Ushuli Diyanah hal. 17: Apabila seseorang bertanya, “Kamu
mengingkari perkataan Mu’tazilah, Qadariyyah, Jahmiyyah, Haruriyyah,
Rafidhah, dan Murji’ah. Maka terangkan kepada kami pendapatmu dan
keyakinanmu yang engkau beribadah kepada Allah dengannya!” Jawablah,
“Pendapat dan keyakinan yang kami pegangi adalah berpegang teguh dengan
kitab Rabb kita, sunnah Nabi kita Shalallahu ‘alaihi wasallam dan apa
yang diriwayatkan dari para sahabat, tabi’in, dan para ahli hadits. Kami
berpegang teguh dengannya. Dan berpendapat dengan apa yang dikatakan
oleh Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal.”
Ringkas perkataan kami bahwasanya kami beriman kepada Allah, para
malaikatNya, kitab-kitabNya, para rasulNya, dan apa yang dibawa oleh
mereka dari sisi Allah dan apa yang diriwayatkan oleh para ulama yang
terpercaya dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, kami tidak akan
menolak sedikitpun.
Sesungguhnya Allah adalah Ilah yang Esa, tiada sesembahan yang berhak
diibadahi kecuali Dia, Dia Esa dan tempat bergantung seluruh makhluk,
tidak membutuhkan anak dan istri. Dan bahwasanya Muhammad Shalallahu
‘alaihi wasallam adalah hamba dan urusanNya. Allah mengurusnya dengan
membawa petunjuk dan dien yang benar. Surga dan neraka benar adanya.
Hari kiamat pasti datang, tidak ada kesamaran sedikitpun. Dan Allah akan
membangkitkan yang ada di kubur. Allah bersemayam di atas Arsy seperti
dalam firmanNya:
“Alloh bersemayam di atas ‘Arsy”. (QS. Thaha: 5)
Allah. memiliki dua tangan, tapi tidak boleh ditakyif, seperti dalam firmanNya:
“Telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku”. (QS. Shad: 75) dan firmanNya
“Tetapi kedua-dua tangan Alloh terbuka.” (QS. al-Maidah: 64)
Allah memiliki dua mata tanpa ditakyif, seperti dalam firmanNya:
“Yang berlayar dengan pengawasan mata Kami.” (QS. al-Qamar: 14)
Siapa yang menyangka bahwa nama-nama Allah bukanlah Allah maka sungguh dia sesat, Allah berilmu seperti dalam firmanNya
“Dan tidak ada seorang perempuanpun mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan ilmu-Nya.” (QS. Fathir: 11)
Kita menetapkan bahwa Allah mendengar dan melihat, kita tidak
menafikannya seperti dilakukan oleh orang-orang Mu’tazilah, Jahmiyyah,
dan Khawarij.”
Beliau berkata dalam kitabnya Maqalatul lslamiyyin wa lkhtilafil
Mushallin hal. 290: Kesimpulan apa yang diyakini oleh ahli hadits dan
Sunnah bahwasanya mereka mengakui keimanan kepada Allah, para
malaikatNya, kitab-kitabNya, para rasulNya, dan apa yang dibawa oleh
mereka dari sisi Allah dan apa yang diriwayatkan oleh para ulama yang
terpercaya dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, mereka tidak
akan menolak sedikitpun. Dan bahwasanya Allah adalah Ilah yang Esa,
tiada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Dia, Dia Esa dan tempat
bergantung seluruh makhluk, tidak membutuhkan anak dan istri. Dan
bahwasanya Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam adalah hamba dan
utusanNya.
Mereka memandang wajibnya menjauhi setiap penyeru kepada kebid’ahan dan
hendaknya menyibukkan diri dengan membaca al-Qur’an, menulis
atsar-atsar, dan menelaah fiqih, dengan selalu tawadhu’, tenang,
berakhlak yang baik, menebar kebaikan, menahan diri dari mengganggu
orang lain, meninggalkan ghibah dan namimah, dan berusaha memperhatikan
keadaan orang yang kekurangan.
Inilah kesimpulan dari apa, yang mereka perintahkan, amalkan, dan mereka
pandang, dan kami mengatakan sebagaimana yang kami sebutkan dari mereka
dan kepada ini semua kami bermadzhab, dan tidaklah kami mendapatkan
taufiq kecuali dari Allah.”
Wafatnya
al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari wafat di Baghdad pada tahun 324 H. Semoga
Allah meridhoinya dan menempatkannya dalam keluasan jannahNya.
Sumber: Siyar A’lamin Nubala’ oleh Adz-Dzahabi 15/85-90, dan Tarjamah Abul Hasan al-Asy’ari.
Fase Hidup: Pencarian Kebenaran
Ali mengalami fase kehidupan dan pencarian kebenaran sejati yang penuh dengan liku-liku. Pada usia belia, ia hidup di bawah asuhan seorang ayah yang mencintai sunnah dan berpegang dengan prinsip-prinsipnya. Bahkan, sebelum ia wafat, ia berwasiat agar Ali kecil dibimbing oleh Al Hafizh Abu Yahya Zakariya bin Yahya As Saji, seorang ulama fikih dan hadits yang berpegang teguh pada prinsip ahlus sunnah.
Setelah sang ayah meninggal, ibundanya menikah dengan seorang lelaki yang bernama Abu Ali Al Jubba’i, seorang tokoh Mu’tazilah. Dari sinilah ia tumbuh dan berkembang dengan asuhan ayah tirinya itu hingga senantiasa didoktrin dengan paham-paham Mu’tazilah. Ali pun menjadi ahli waris ilmu ayah tirinya hingga ia juga menjadi seorang tokoh muda Mu’tazilah yang disegani kelompoknya. Bahkan dalam banyak kesempatan ia mewakili Abu Ali Al Jubba’i dalam urusan keagamaan. Ia bahkan menulis banyak karya untuk membela Mu’tazilah dan menyerang kelompok yang berseberangan dengannya.
Pada usia empat puluh tahun, ia bertaubat dari paham Mu’tazilah yang selama ini dianutnya. Dari atas mimbar Masjid Jami’ Bashrah setelah pelaksanaan shalat Jumat, ia mengumumkan pertaubatan dirinya dan berlepas diri dari Mu’tazilah. Bahkan beliau kemudian merilis beberapa tulisan yang membantah syubhat-syubaht Mu’tazilah dan kesesatan mereka. Kisah pertaubatan beliau ini dicatat oleh Imam Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wa An Nihayah, Siyar A’lam Nubala’, dan Wafayatul A’yan.
“Sejak beberapa malam,” tutur Ali Abul Hasan Al Asy’ari mengisahkan sebab pertaubatannya, “Di dadaku muncul (ganjalan) tentang masalah-masalah aqidah. Aku pun bangun melaksanakan shalat dua rakaat dan meminta Allah subhana wa ta’ala memberi hidayah jalan yang lurus kepadaku. Kemudian aku pun tidur. Ketika tidur, aku bermimpi melihat Rasulullah. Aku keluhkan kepada beliau sebagian masalahku. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadaku, ‘Wajib atasmu berpegang dengan sunnahku.’ Lalu aku terbangun.”
Beberapa saat setelah pengumuman pertaubatan itu, beliau meninggalkan Bashrah menuju Baghdad.
Pada fase ini, beliau condong pada pemahaman ulama ahlus sunnah, tapi belum berpemahaman ahlus sunnah. Saat itu beliau lebih terpengaruh kelompok Kullabiyah. Hal ini dibenarkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Imam Al Maqrizi, dan Imam Ibnu Katsir.
Dalam Thabaqatul Fuqaha Indasy Syafi’iyah, Ibnu Katsir mengatakan, “Fase kedua (yang dialami Abul Hasan Al Asy’ari) adalah menetapkan tujuh sifat aqliyah bagi Allah subhana wa ta’ala, yaitu al hayat, al ilmu, al qudrah, al iradah, as sam’u, al bashar, dan al kalam[1]. Di sisi lain, beliau menakwilkan (memalingkan dari makna harfiahnya) sifat khabariyah, seperti wajah, kedua tangan, kaki, betis, dan yang semisalnya.”
Selain itu, beliau juga mengingkari sifat fi’liyah (perbuatan) Allah subhana wa ta’ala yang berkenaan dengan kehendak dan takdir-Nya. Jadi, saat itu pemikiran beliau berada di antara kelompok Mu’tazilah yang mengingkari semua sifat Allah dan ahlus sunnah yang menetapkan semua sifat Allah.
Setelah sekian lama berlalu, Abu Hasan Al Asy’ari semakin mendekat dengan pemahaman ulama ahlus sunnah. Pada fase ini beliau berguru kepada para ulama ahlus sunnah semisal Al Muhadits Al Musnid Abu Khalifah Al Fadhl Al Jumahi Al Bashri, Al Qadhi Abul Abbas Ahmad bin Suraij Al Baghdadi, Imam Abu Yahya Zakariya bin Yahya As Saji, dan Al Faqih Abu Ishaq Ibrahim bin Ahmad bin Ishaq Al Marwazi.
Ibnu Katsir mengatakan, “Fase ketiga (yang dilalui Abul Hasan Al Asy’ari adalah menetapkan semua sifat-sifat Allah subhana wa ta’ala tanpa menganalogikan dan menyamakannya dengan sesuatu pun, sebagaimana prinsip as salafush shalih. Demikianlah prinsip yang beliau torehkan dalam kitab Al Ibanah (‘an Ushulud Diyanah), karya beliau yanhg terakhir.”
Kemudian Imam Abul Hasan Al Asy’ari rahimahullah membersihkan jalan yang ditempuhnya dan mengikhlaskannya karena Allah subhana wa ta’ala dengan rujuk kembali secara total kepada jalan yang ditempuh salafush shalih.. Dan para ulama yang menyebutkan biografi beliau menyatakan bahwa Al Ibanah adalah karya tulis beliau yang terakhir. Demikian penjelasan Syaikh Muhibuddin Al Khatib mengenai Imam Al Asy’ari.
Demikianlah perjalanan pencarian kebenaran oleh Imam Abul Hasan Al Asy’ari. Beliau berpindah dari satu pemahaman yang sesat ke pemahaman lain yang menurutnya lebih benar hingga Allah memberinya hidayah agar beliau meniti jalan kebenaran yang sebenar-benarnya. Meskipun sebelumnya beliau berpegang teguh dalam satu jalan yang beliau yakini sedemikian lama, bahkan menjadi tokoh utama dan pembelanya, namun saat beliau menyadari kesalahannya, tanpa malu-malu dan tanpa diam-diam beliau mengumumkan pertaubatannya dari masa lalunya di hadapan seluruh umat yang mengenalnya. Dan bahkan selanjutnya beliau menjadi orang yang paling gencar dalam membongkar kesesatan jalan yang dulu pernah ditempuhnya.
Dalam perjuangannya mendakwahkan kebenaran, beliau menghembuskan napas yang terakhir pada tahun 935 almanak syamsiyah. Semoga Allah melapangkan kuburnya, mengampuni dosa-dosa beliau, dan kita dapat mengambil manfaat atas perjalanan kehidupan beliau.
Ali mengalami fase kehidupan dan pencarian kebenaran sejati yang penuh dengan liku-liku. Pada usia belia, ia hidup di bawah asuhan seorang ayah yang mencintai sunnah dan berpegang dengan prinsip-prinsipnya. Bahkan, sebelum ia wafat, ia berwasiat agar Ali kecil dibimbing oleh Al Hafizh Abu Yahya Zakariya bin Yahya As Saji, seorang ulama fikih dan hadits yang berpegang teguh pada prinsip ahlus sunnah.
Setelah sang ayah meninggal, ibundanya menikah dengan seorang lelaki yang bernama Abu Ali Al Jubba’i, seorang tokoh Mu’tazilah. Dari sinilah ia tumbuh dan berkembang dengan asuhan ayah tirinya itu hingga senantiasa didoktrin dengan paham-paham Mu’tazilah. Ali pun menjadi ahli waris ilmu ayah tirinya hingga ia juga menjadi seorang tokoh muda Mu’tazilah yang disegani kelompoknya. Bahkan dalam banyak kesempatan ia mewakili Abu Ali Al Jubba’i dalam urusan keagamaan. Ia bahkan menulis banyak karya untuk membela Mu’tazilah dan menyerang kelompok yang berseberangan dengannya.
Pada usia empat puluh tahun, ia bertaubat dari paham Mu’tazilah yang selama ini dianutnya. Dari atas mimbar Masjid Jami’ Bashrah setelah pelaksanaan shalat Jumat, ia mengumumkan pertaubatan dirinya dan berlepas diri dari Mu’tazilah. Bahkan beliau kemudian merilis beberapa tulisan yang membantah syubhat-syubaht Mu’tazilah dan kesesatan mereka. Kisah pertaubatan beliau ini dicatat oleh Imam Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wa An Nihayah, Siyar A’lam Nubala’, dan Wafayatul A’yan.
“Sejak beberapa malam,” tutur Ali Abul Hasan Al Asy’ari mengisahkan sebab pertaubatannya, “Di dadaku muncul (ganjalan) tentang masalah-masalah aqidah. Aku pun bangun melaksanakan shalat dua rakaat dan meminta Allah subhana wa ta’ala memberi hidayah jalan yang lurus kepadaku. Kemudian aku pun tidur. Ketika tidur, aku bermimpi melihat Rasulullah. Aku keluhkan kepada beliau sebagian masalahku. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadaku, ‘Wajib atasmu berpegang dengan sunnahku.’ Lalu aku terbangun.”
Beberapa saat setelah pengumuman pertaubatan itu, beliau meninggalkan Bashrah menuju Baghdad.
Pada fase ini, beliau condong pada pemahaman ulama ahlus sunnah, tapi belum berpemahaman ahlus sunnah. Saat itu beliau lebih terpengaruh kelompok Kullabiyah. Hal ini dibenarkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Imam Al Maqrizi, dan Imam Ibnu Katsir.
Dalam Thabaqatul Fuqaha Indasy Syafi’iyah, Ibnu Katsir mengatakan, “Fase kedua (yang dialami Abul Hasan Al Asy’ari) adalah menetapkan tujuh sifat aqliyah bagi Allah subhana wa ta’ala, yaitu al hayat, al ilmu, al qudrah, al iradah, as sam’u, al bashar, dan al kalam[1]. Di sisi lain, beliau menakwilkan (memalingkan dari makna harfiahnya) sifat khabariyah, seperti wajah, kedua tangan, kaki, betis, dan yang semisalnya.”
Selain itu, beliau juga mengingkari sifat fi’liyah (perbuatan) Allah subhana wa ta’ala yang berkenaan dengan kehendak dan takdir-Nya. Jadi, saat itu pemikiran beliau berada di antara kelompok Mu’tazilah yang mengingkari semua sifat Allah dan ahlus sunnah yang menetapkan semua sifat Allah.
Setelah sekian lama berlalu, Abu Hasan Al Asy’ari semakin mendekat dengan pemahaman ulama ahlus sunnah. Pada fase ini beliau berguru kepada para ulama ahlus sunnah semisal Al Muhadits Al Musnid Abu Khalifah Al Fadhl Al Jumahi Al Bashri, Al Qadhi Abul Abbas Ahmad bin Suraij Al Baghdadi, Imam Abu Yahya Zakariya bin Yahya As Saji, dan Al Faqih Abu Ishaq Ibrahim bin Ahmad bin Ishaq Al Marwazi.
Ibnu Katsir mengatakan, “Fase ketiga (yang dilalui Abul Hasan Al Asy’ari adalah menetapkan semua sifat-sifat Allah subhana wa ta’ala tanpa menganalogikan dan menyamakannya dengan sesuatu pun, sebagaimana prinsip as salafush shalih. Demikianlah prinsip yang beliau torehkan dalam kitab Al Ibanah (‘an Ushulud Diyanah), karya beliau yanhg terakhir.”
Kemudian Imam Abul Hasan Al Asy’ari rahimahullah membersihkan jalan yang ditempuhnya dan mengikhlaskannya karena Allah subhana wa ta’ala dengan rujuk kembali secara total kepada jalan yang ditempuh salafush shalih.. Dan para ulama yang menyebutkan biografi beliau menyatakan bahwa Al Ibanah adalah karya tulis beliau yang terakhir. Demikian penjelasan Syaikh Muhibuddin Al Khatib mengenai Imam Al Asy’ari.
Demikianlah perjalanan pencarian kebenaran oleh Imam Abul Hasan Al Asy’ari. Beliau berpindah dari satu pemahaman yang sesat ke pemahaman lain yang menurutnya lebih benar hingga Allah memberinya hidayah agar beliau meniti jalan kebenaran yang sebenar-benarnya. Meskipun sebelumnya beliau berpegang teguh dalam satu jalan yang beliau yakini sedemikian lama, bahkan menjadi tokoh utama dan pembelanya, namun saat beliau menyadari kesalahannya, tanpa malu-malu dan tanpa diam-diam beliau mengumumkan pertaubatannya dari masa lalunya di hadapan seluruh umat yang mengenalnya. Dan bahkan selanjutnya beliau menjadi orang yang paling gencar dalam membongkar kesesatan jalan yang dulu pernah ditempuhnya.
Dalam perjuangannya mendakwahkan kebenaran, beliau menghembuskan napas yang terakhir pada tahun 935 almanak syamsiyah. Semoga Allah melapangkan kuburnya, mengampuni dosa-dosa beliau, dan kita dapat mengambil manfaat atas perjalanan kehidupan beliau.
Posting Komentar