Biografi Imam Abul Hasan Al-Asy'ari

khalifah
Abu Hasan al-Asy'ari 260H - 324H 
Nama sebenarnya adalah Ali bin Ismail bin Ishaq (Abu Bisyr) bin Salim bin Ismail bin Musa bin Bilal bin Abu Burdah bin Abu Musa Al Asy’ari, tapi kebanyakan orang mengenalnya dengan nama Abul Hasan Al Asy’ari. Dari silsilahnya kita mengetahui bahwa beliau adalah salah seorang keturunan shahabat Rasulullah yang mulia yang terkenal akan keilmuannya dan keindahannya dalam membaca Al Quran, Abdullah bin Qais bin Hadhdhar atau Abu Musa Al Asy’ari Al Yamani. Ali Abul Hasan Al Asy’ari dilahirkan di Bashrah wilayah Iraq pada tahun 260 Hijriyah. “Abul Hasan” sebenarnya adalah kuniyah beliau, dan julukannya adalah Nashiruddin atau Sang Pembela Agama. Julukan ini beliau dapatkan saat beliau meninggal dan orang-orang saling mengabarkan bahwa “Sang Pembela Agama” telah meninggal.
Beliau -Abul Hasan Al-Asy’ari- Rahimahullah dilahirkan pada ta­hun 260 H di Bashrah, Irak.
Beliau Rahimahullah dikenal dengan kecerdasannya yang luar biasa dan ketajaman pemahamannya. Demi­kian juga, beliau dikenal dengan qana’ah dan kezuhudannya.
Guru-gurunya
Beliau Rahimahullah mengambil ilmu kalam dari ayah tirinya, Abu Ali al-Jubai, seorang imam kelompok Mu’tazilah.
Ketika beliau keluar dari pemikiran Mu’tazilah, beliau Rahimahullah memasuki kota Baghdad dan mengambil hadits dari muhaddits Baghdad Zakariya bin Yahya as­-Saji. Demikian juga, beliau belajar kepada Abul Khalifah al-Jumahi, Sahl bin Nuh, Muhammad bin Ya’qub al-Muqri, Abdurrahman bin Khalaf al-Bashri, dan para ula­ma thabaqah mereka.
Taubatnya dari aqidah Mu’tazilah
Al-Hafizh Ibnu Asakir ber­kata di dalam kitabnya Tabyin Kadzibil Muftari fima Nusiba ila Abil Hasan al-Asy’ari, ”Abu Bakr Ismail bin Abu Muhammad al­-Qairawani berkata, ‘Sesungguh­nya Abul Hasan al-Asy’ari awalnya mengikuti pemikiran Mu’tazilah selama 40 tahun dan jadilah beliau seorang imam mereka. Suatu saat beliau menyepi dari manusia selama 15 hari, sesudah itu beliau kembali ke Bashrah dan shalat di masjid Jami’ Bashrah. Seusai shalat Jum’at beliau naik ke mimbar se­raya mengatakan:
Wahai manusia, sesungguhnya aku menghilang dari kalian pada hari-hari yang lalu karena aku melihat suatu permasalahan yang dalil-dalilnya sama-­sama kuat sehingga tidak bisa aku tentukan mana yang haq dan mana yang batil, maka aku memohon pe­tunjuk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga Allah memberikan petunjuk kepada­ku yang aku tuliskan dalam kitab- kitabku ini, aku telah melepaskan diriku dari semua yang sebelum­nya aku yakini, sebagaimana aku lepaskan bajuku ini.
Beliau pun melepas baju beliau dan beliau serahkan kitab-kitab tersebut kepada manusia. Ketika ahlul hadits dan fiqh membaca kitab-kitab tersebut me­reka mengambil apa yang ada di dalamnya dan mereka mengakui kedudukan yang agung dari Abul Hasan al-Asy’ari dan menjadikan­nya sebagai imam.’”
Para pakar hadits (Ashhabul hadits) sepakat bahwa Abul Hasan al-Asy’ari adalah salah seorang imam dari ashhabul hadits.
Beliau ber­bicara pada pokok-pokok agama dan membantah orang-orang menye­leweng dari ahli bid’ah dan ahwa’ dengan menggunakan al-Qur’an dan Hadits dengan pemahaman para sahabat. Beliau adalah pedang yang terhu­nus atas Mu’taziah, Rafidhah, dan para ahli bid’ah.
Abu Bakr bin Faurak berkata, ”Abul Hasan al-Asy’ari keluar dari pemikiran Mu’tazilah dan mengikuti madzhab yang sesuai dengan para sahabat pada tahun 300 H.”
Abul Abbas Ahmad bin Mu­hammad bin Khalikan berkata dalam kitabnya, Wafayatul A’yan (2/446), ”Abul Hasan al-Asy’ari awalnya mengikuti pemikiran Mu’tazilah kemudian bertaubat.”
Al-Hafizh Ibnu Katsir berka­ta dalam kitabnya, al-Bidayah wan Nihayah (11/187), “Sesungguhnya Abul Hasan al-Asy’ari awalnya adalah seorang Mu’tazilah kemu­dian bertaubat dari pemikiran Mu’tazilah di Bashrah di atas mimbar, kemudian beliau tampakkan aib-aib dan kebobrokan pemikiran Mu’tazilah.”
Al-Hafizh adz-Dzahabi ber­kata dalam kitabnya, al-Uluw lil Aliyyil Ghaffar, ”Abul Hasan al­Asy’ari awalnya seorang Mu’tazilah mengambil ilmu dari Abu Ali al-­Juba’i, kemudian beliau lepaskan pemikiran Mu’tazilah dan jadilah beliau mengikuti Sunnah dan mengikuti para imam ahli hadits.”
Tajuddin as-Subki berkata dalam kitabnya, Thabaqah Syafi­’iyyah al-Kubra (2/246), ”Abul Hasan al-Asy’ari -mengikuti pe­mikiran Mu’tazilah selama 40 tahun hingga menjadi imam ke­lompok Mu’tazilah. Ketika Alloh menghendaki membela agama­Nya dan melapangkan dada beliau untuk ittiba’ kepada al-Haq maka beliau menghilang dari manusia di rumahnya.” (Kemudian Tajuddin as-Subki menyebutkan apa yang dikatakan oleh al-Hafizh Ibnu Asakir di atas).
Ibnu Farhun al-Maliki berkata dalam kitabnya Dibajul Madz­hab fi Ma’rifati A’yani Ulama’il Madzhab (hal. 193), 
”Abul Hasan al-Asy’ari awalnya adalah seorang Mu’tazilah, kemudian keluar dari pemikiran Mu’tazilah kepada madzhab yang haq madzhabnya para sahabat. Banyak yang heran dengan hal itu dan bertanya se­babnya kepada beliau, Maka be­liau menjawab bahwa beliau pada bulan Ramadhan bermimpi bertemu Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam yang memerintahkan ke­pada beliau agar kembali kepada kebenaran dan membelanya, dan demikianlah kenyataannya -walhamdulillahi Taala-.”
Murtadha az-Zabidi berkata dalam kitabnya Ittihafu Sadatil Muttaqin bi Syarhi Asrari lhya’ Ulumiddin (2/3), ”Abul Hasan al-Asy’ari mengambil ilmu kalam dari Abu Ali al-Jubba’i (tokoh Mu’tazilah), kemudian beliau tinggalkan pemikiran Mu’tazilah dengan sebab mimpi yang beliau lihat, beliau keluar dari Mu’tazilah secara terang-terangan, beliau naik mimbar Bashrah pada hari Jum’at dan menyeru dengan lantang, ‘Barangsiapa yang telah mengenaliku maka sungguh telah tahu siapa diriku dan barangsiapa yang belum kenal aku maka aku adalah Ali bin Ismail yang dulu aku mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk, bahwasanya Allah tidak bisa dilihat di akhirat dengan mata, dan bah­wasanya para hamba menciptakan perbuatan-perbuatan mereka. Dan sekarang lihatlah aku telah bertau­bat dari pemikiran Mu’tazilah dan meyakini bantahan atas mereka,’ kemudian mulailah beliau mem­bantah mereka dan menulis yang menyelisih pemikiran mereka.”
Kemudian az-Zabidi berkata, “Ibnu Katsir berkata,
‘Para ulama menyebutkan bahwa Syaikh Abul Hasan al-Asy’ari memiliki tiga fase pemikiran:
Pertama mengikuti pemikiran Mu’tazilah yang kemu­dian beliau keluar darinya,
Kedua menetapkan tujuh sifat aqliyyah, yaitu; Hayat, Ilmu, Qudrah, Iradah, Sama’, Bashar, dan Kalam, dan beliau menakwil sifat-sifat khabariyyah seperti wajah, dua tangan, telapak kaki, betis, dan yang semisalnya.
Ketiga adalah menetapkan semua sifat Allah tan­pa takyif dan tasybih sesuai man­haj para sahabat yang merupakan metode beliau dalam kitabnya al-Ibanah yang beliau tulis belakangan.’”
Murid-muridnya
Di antara murid-muridnya adalah Abul Hasan al-Bahili, Abul Hasan al-Karmani, Abu Zaid al­-Marwazi, Abu Abdillah bin Mu­jahid al-Bashri, Bindar bin Husain asy-Syairazi, Abu Muhammad al­-Iraqi, Zahir bin Ahmad as-Sara­khsyi, Abu Sahl Ash-Shu’luki, Abu Nashr al-Kawwaz Asy-Syairazi, dan yang lainnya.
Tulisan-tulisannya
Di antara tulisan-tulisan be­liau adalah: al-Ibanah an Ushuli Diyanah, Maqalatul Islamiyyin, Risalah Ila Ahli Tsaghr, al-Luma’ fi Raddi ala Ahlil Bida’, al-Mujaz, al-Umad fi Ru’yah, Fushul fi Raddi alal Mulhidin, Khalqul A’mal, Kita­bush Shifat, Kitabur Ruyah bil Ab­shar, al-Khash wal ‘Am, Raddu Alal Mujassimah, Idhahul Burhan, asy­-Syarh wa Tafshil, an-Naqdhu alal Jubai, an-naqdhu alal Balkhi, Jum­latu Maqalatil Mulhidin, Raddu ala lbni Ruwandi, al-Qami’ fi Raddi alal Khalidi, Adabul Jadal, Jawabul Khurasaniyyah, Jawabus Sirafiyyin, Jawabul Jurjaniyyin, Masail Mantsurah Baghdadiyyah, al- Funun fi Raddi alal Mulhidin, Nawadir fi Daqaiqil Kalam, Kasyful Asrar wa Hatkul Atsar, Tafsirul Qur’an al­-Mukhtazin, dan yang lainnya.
al-Imam Ibnu Hazm Rohimahullah berkata, “al-Imam Abul Hasan al-­Asy’ari memiliki 55 tulisan.
Di antara perkataan-­perkataannya
Al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari Rohimahullah berkata dalam kitabnya al-Ibanah an Ushuli Diyanah hal. 17: Apabila seseorang bertan­ya, “Kamu mengingkari perkataan Mu’tazilah, Qadariyyah, Jahmi­yyah, Haruriyyah, Rafidhah, dan Murji’ah. Maka terangkan kepada kami pendapatmu dan keyaki­nanmu yang engkau beribadah ke­pada Allah dengannya!” Jawablah, “Pendapat dan keyakinan yang kami pegangi adalah berpegang teguh dengan kitab Rabb kita, sunnah Nabi kita Shalallahu ‘alaihi wasallam dan apa yang diriwayatkan dari para sahabat, tabi’in, dan para ahli hadits. Kami berpegang teguh dengannya. Dan berpendapat dengan apa yang di­katakan oleh Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal.”
Ringkas perkataan kami bah­wasanya kami beriman kepada Allah, para malaikatNya, kitab-­kitabNya, para rasulNya, dan apa yang dibawa oleh mereka dari sisi Allah dan apa yang diriwayatkan oleh para ulama yang terpercaya dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, kami tidak akan menolak sedikitpun.
Sesung­guhnya Allah adalah Ilah yang Esa, tiada sesembahan yang berhak di­ibadahi kecuali Dia, Dia Esa dan tempat bergantung seluruh makh­luk, tidak membutuhkan anak dan istri. Dan bahwasanya Muham­mad Shalallahu ‘alaihi wasallam adalah hamba dan urusan­Nya. Allah mengurusnya dengan membawa petunjuk dan dien yang benar. Surga dan neraka benar adanya. Hari kiamat pasti datang, tidak ada kesamaran sedikitpun. Dan Allah akan membangkitkan yang ada di kubur. Allah berse­mayam di atas Arsy seperti dalam firmanNya:
“Alloh bersemayam di atas ‘Arsy”. (QS. Thaha: 5)
Allah. memiliki dua tangan, tapi tidak boleh ditakyif, seperti dalam firmanNya:
“Telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku”. (QS. Shad: 75) dan fir­manNya
“Tetapi kedua-dua tangan Alloh ter­buka.” (QS. al-Maidah: 64)
Allah memiliki dua mata tanpa di­takyif, seperti dalam firmanNya:
“Yang berlayar dengan pengawasan mata Kami.” (QS. al-Qamar: 14)
Siapa yang menyangka bahwa nama-nama Allah bukanlah Al­lah maka sungguh dia sesat, Allah berilmu seperti dalam firmanNya
“Dan tidak ada seorang perempuanpun mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan ilmu-Nya.” (QS. Fathir: 11)
Kita menetapkan bahwa Allah mendengar dan melihat, kita tidak menafikannya seperti dilakukan oleh orang-orang Mu’tazilah, Jah­miyyah, dan Khawarij.”
Beliau berkata dalam kitab­nya Maqalatul lslamiyyin wa lkhti­lafil Mushallin hal. 290: Kesim­pulan apa yang diyakini oleh ahli hadits dan Sunnah bahwasanya mereka mengakui keimanan kepa­da Allah, para malaikatNya, kitab­-kitabNya, para rasulNya, dan apa yang dibawa oleh mereka dari sisi Allah dan apa yang diriwayatkan oleh para ulama yang terpercaya dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, mereka tidak akan menolak sedikitpun. Dan bahwasanya Allah adalah Ilah yang Esa, tiada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Dia, Dia Esa dan tempat bergantung seluruh makh­luk, tidak membutuhkan anak dan istri. Dan bahwasanya Muham­mad Shalallahu ‘alaihi wasallam adalah hamba dan utusan­Nya.
Mereka memandang wajib­nya menjauhi setiap penyeru kepada kebid’ahan dan hendaknya menyibukkan diri dengan mem­baca al-Qur’an, menulis atsar-­atsar, dan menelaah fiqih, dengan selalu tawadhu’, tenang, berakhlak yang baik, menebar kebaikan, menahan diri dari mengganggu orang lain, meninggalkan ghibah dan namimah, dan berusaha mem­perhatikan keadaan orang yang kekurangan.
Inilah kesimpulan dari apa, yang mereka perintahkan, amalkan, dan mereka pandang, dan kami mengatakan sebagaimana yang kami sebutkan dari mereka dan kepada ini semua kami ber­madzhab, dan tidaklah kami mendapatkan taufiq kecuali dari Allah.”
Wafatnya
al-Imam Abul Hasan al­-Asy’ari wafat di Baghdad pada tahun 324 H. Semoga Allah meridhoi­nya dan menempatkannya dalam keluasan jannahNya.
Sumber: Siyar A’lamin Nubala’ oleh Adz­-Dzahabi 15/85-90, dan Tarjamah Abul Hasan al-Asy’ari.
Fase Hidup: Pencarian Kebenaran
Ali mengalami fase kehidupan dan pencarian kebenaran sejati yang penuh dengan liku-liku. Pada usia belia, ia hidup di bawah asuhan seorang ayah yang mencintai sunnah dan berpegang dengan prinsip-prinsipnya. Bahkan, sebelum ia wafat, ia berwasiat agar Ali kecil dibimbing oleh Al Hafizh Abu Yahya Zakariya bin Yahya As Saji, seorang ulama fikih dan hadits yang berpegang teguh pada prinsip ahlus sunnah.
Setelah sang ayah meninggal, ibundanya menikah dengan seorang lelaki yang bernama Abu Ali Al Jubba’i, seorang tokoh Mu’tazilah. Dari sinilah ia tumbuh dan berkembang dengan asuhan ayah tirinya itu hingga senantiasa didoktrin dengan paham-paham Mu’tazilah. Ali pun menjadi ahli waris ilmu ayah tirinya hingga ia juga menjadi seorang tokoh muda Mu’tazilah yang disegani kelompoknya. Bahkan dalam banyak kesempatan ia mewakili Abu Ali Al Jubba’i dalam urusan keagamaan. Ia bahkan menulis banyak karya untuk membela Mu’tazilah dan menyerang kelompok yang berseberangan dengannya.
Pada usia empat puluh tahun, ia bertaubat dari paham Mu’tazilah yang selama ini dianutnya. Dari atas mimbar Masjid Jami’ Bashrah setelah pelaksanaan shalat Jumat, ia mengumumkan pertaubatan dirinya dan berlepas diri dari Mu’tazilah. Bahkan beliau kemudian merilis beberapa tulisan yang membantah syubhat-syubaht Mu’tazilah dan kesesatan mereka.  Kisah pertaubatan beliau ini dicatat oleh Imam Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wa An Nihayah, Siyar A’lam Nubala’, dan Wafayatul A’yan.
“Sejak beberapa malam,” tutur Ali Abul Hasan Al Asy’ari mengisahkan sebab pertaubatannya, “Di dadaku muncul (ganjalan) tentang masalah-masalah aqidah. Aku pun bangun melaksanakan shalat dua rakaat dan meminta Allah subhana wa ta’ala memberi hidayah jalan yang lurus kepadaku. Kemudian aku pun tidur. Ketika tidur, aku bermimpi melihat Rasulullah. Aku keluhkan kepada beliau sebagian masalahku. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadaku, ‘Wajib atasmu berpegang dengan sunnahku.’ Lalu aku terbangun.”
Beberapa saat setelah pengumuman pertaubatan itu, beliau meninggalkan Bashrah menuju Baghdad.
Pada fase ini, beliau condong pada pemahaman ulama ahlus sunnah, tapi belum berpemahaman ahlus sunnah.  Saat itu beliau lebih terpengaruh kelompok Kullabiyah. Hal ini dibenarkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Imam Al Maqrizi, dan Imam Ibnu Katsir.
Dalam Thabaqatul Fuqaha Indasy Syafi’iyah, Ibnu Katsir mengatakan, “Fase kedua (yang dialami Abul Hasan Al Asy’ari) adalah menetapkan tujuh sifat aqliyah bagi Allah subhana wa ta’ala, yaitu al hayat, al ilmu, al qudrah, al iradah, as sam’u, al bashar, dan al kalam[1]. Di sisi lain, beliau menakwilkan (memalingkan dari makna harfiahnya) sifat khabariyah, seperti wajah, kedua tangan, kaki, betis, dan yang semisalnya.”
Selain itu, beliau juga mengingkari sifat fi’liyah (perbuatan) Allah subhana wa ta’ala yang berkenaan dengan kehendak dan takdir-Nya. Jadi, saat itu pemikiran beliau berada di antara kelompok Mu’tazilah yang mengingkari semua sifat Allah dan ahlus sunnah yang menetapkan semua sifat Allah.
Setelah sekian lama berlalu, Abu Hasan Al Asy’ari semakin mendekat dengan pemahaman ulama ahlus sunnah. Pada fase ini beliau berguru kepada para ulama ahlus sunnah semisal Al Muhadits Al Musnid Abu Khalifah Al Fadhl Al Jumahi Al Bashri, Al Qadhi Abul Abbas  Ahmad bin Suraij Al Baghdadi, Imam Abu Yahya Zakariya bin Yahya As Saji, dan Al Faqih Abu Ishaq Ibrahim bin Ahmad bin Ishaq Al Marwazi.
Ibnu Katsir mengatakan, “Fase ketiga (yang dilalui Abul Hasan Al Asy’ari adalah menetapkan semua sifat-sifat Allah subhana wa ta’ala tanpa menganalogikan dan menyamakannya dengan sesuatu pun, sebagaimana prinsip as salafush shalih. Demikianlah prinsip yang beliau torehkan dalam kitab Al Ibanah (‘an Ushulud Diyanah), karya beliau yanhg terakhir.”
Kemudian Imam Abul Hasan Al Asy’ari rahimahullah membersihkan jalan yang ditempuhnya dan mengikhlaskannya karena Allah subhana wa ta’ala dengan rujuk kembali secara total kepada jalan yang ditempuh salafush shalih.. Dan para ulama yang menyebutkan biografi beliau menyatakan bahwa Al Ibanah adalah karya tulis beliau yang terakhir. Demikian penjelasan Syaikh Muhibuddin Al Khatib mengenai Imam Al Asy’ari.
Demikianlah perjalanan pencarian kebenaran oleh Imam Abul Hasan Al Asy’ari. Beliau berpindah dari satu pemahaman yang sesat ke pemahaman lain yang menurutnya lebih benar hingga Allah memberinya hidayah agar beliau meniti jalan kebenaran yang sebenar-benarnya. Meskipun sebelumnya beliau berpegang teguh dalam satu jalan yang beliau yakini sedemikian lama, bahkan menjadi tokoh utama dan pembelanya, namun saat beliau menyadari kesalahannya, tanpa malu-malu dan tanpa diam-diam beliau mengumumkan pertaubatannya dari masa lalunya di hadapan seluruh umat yang mengenalnya. Dan bahkan selanjutnya beliau menjadi orang yang paling gencar dalam membongkar kesesatan jalan yang dulu pernah ditempuhnya.
Dalam perjuangannya mendakwahkan kebenaran, beliau menghembuskan napas yang terakhir pada tahun 935 almanak syamsiyah. Semoga Allah melapangkan kuburnya, mengampuni dosa-dosa beliau, dan kita dapat mengambil manfaat atas perjalanan kehidupan beliau.
 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama